Selasa, 09 Desember 2014

Cinta itu Memberi, Bukan Meminta

Love is Giving, Not Request



“aku sayang sama kamu. Tolong jangan sering marah-marah ke aku, aku takut…” ucap laki-laki bermata sipit ini lirih sambil menatapku. tatapan mata itu. hening, redup, berbinar, aku seperti menemukan kebahagiaan di dalamnya. aku hanya membalasnya dengan senyum, senyuman bahagia. Namanya Dika.
“aku…” aku tak mampu meneruskan kata-kataku, malu. mungkin dia mengerti dengan senyumku ini.
“udah sore, pulang yu. aku takut entar kamu kesorean nyampe rumahnya. kan nggak baik kalau cewek pulang sore-sore” sambil berdiri, Dika menunggu aku menjawab ajakannya itu. aku pun ikut berdiri, berjalan berdua dengannya sampai tempat parkiran. dia mengambil sepedanya dan aku berjalan menuju gerbang sekolah sekaligus menunggu angkutan kota.
“Aku pulang duluan ya sayang” suara Dika mengagetkanku, ketika akan menjawab, dia sudah melesat jauh dengan sepedanya itu. Hari ini aku menghabiskan waktu dengannya sejak pulang sekolah tadi.
Aku dan Dika sudah berpacaran sebulan lebih. Tepatnya pada tanggal 27 November 2013. Selama sebulan ini aku selalu berbagi canda dan tawa, sedi dan senang. Bercerita tentang Dika, tentang keluarganya, bahkan tentang masalalunya. Begitu pun sebaliknya. Aku sangat menyayanginya. Dika sosok yang sangat aku kagumi. Dika kakak kelas di sekolahku, perkenalanku dengannya terjadi tidak di sengaja. Kita tidak sengaja bertemu pas jam pulang sekolah. Saat itu aku sedang mengerjakan tugas bersama ketiga sahabatku, dan waktu itu ada tugas yang sama sekali tidak kami mengerti. Dan secara tidak sengaja aku melihatnya yang tengah duduk sendiri tak jauh dari tempat kami yang sedang mengerjakan tugas. Aku mencoba menghampirinya, berniat untuk meminta bantuan kepadanya. aku menyukainya pada pandangan pertama. kita Semakin dekat, bahkan sangat dekat. jauh sebelelum aku bertemu dengannya, aku sudah mengenalnya lewat mimpi dan doa-doaku selama ini. dia adalah jawaban dari doa-ku. Awalnya aku bertanya untuk apa kita dipertemukan? Jawabannya takdir. Yaa takdir. Takdir yang membawa aku ke tempat itu, tempat dimana Dika tengah sendiri dan aku rasa Dika membutuhkan seseorang. Perlahan-lahan aku mendekatinya, ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Awalnya Dika menolak, cuek, dan acuh tak acuh. Namun pada akhirnya takdir pula lah yang menyatukan aku dan Dika seperti sekarang ini. Aku bahagia dengannya, sangat bahagia.
From: Sipit
Aku pengen ngomong sesuatu. Pulang sekolah aku tunggu kamu di deket post satpam.
Pesan singkat darinya masuk ke handphone ku. aku membacanya. aneh pikirku dalam hati. kenapa mau ngomong aja harus bilang dulu? aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sepulang sekolah ku pun segera bergegas menuju post satpam. Dia tengah berdiri sana, seperti gelisah menungguku. Mungkin dia sudah lama menunggu.
“mau ngomong apasih?” kataku sambil menghampirinya yang sedang berdiri di dekat post satpam.
“Sini duduk” balasnya sambil membersihkan teras di depan post satpam itu. aku menurut, aku duduk di sampingnya. Jarak antara kami jauh, aku tak ingin duduk dekat dengannya. Karena takut jika ada guru ataupun murid yang lain, bisa menimbulkan fitnah.
“aku tau saat kamu perhatian padaku, kamu pun ingin diperhatikan. aku tau saat kamu menunggu lamanya diriku, kamu pun mau aku melihat perjuanganmu. aku tau saat kamu melihat orang lain begitu akrab, kamu ingin kita seperti mereka. aku tau saat kamu kecewa padaku, karena kamu kecewa bukan 1 kali tapi berkali-kali. aku tau saat kamu tak bicara pada ayahmu bahwa kita pacaran, karena kamu takut ayah kamu bakal ngelarang itu. aku tau kamu begitu sayang padaku saat karyamu tentangku aku lihat. Dan aku tidak tahu apakah akan bisa membalas kasih, sayang dan cintamu yang tulus itu” suaranya terasa berat terdengar. Seperti menahan sesuatu. Dika menatapku, hanya saja aku memalingkan wajahku. Aku tak ingin melihat raut wajahnya yang sedih itu.
“tapi seenggak nya kamu juga harus bisa bagi waktu buat aku. Sedikit aja” jawabku. Aku sama sekali tidak berani menatap matanya, terasa berat jika aku harus melakukan itu.
“maaf ya kalau selama ini aku jarang merhatiin kamu. Kamu tau kan kalau aku sibuk? Tapi kamu harus inget. Aku nggak selamanya sibuk, pasti masih ada waktu untuk kita bisa berdua. Percaya sama aku” ucapnya “aku tau aku salah, tapi tolong ngertiin aku” lanjutnya. Pandangannya menerawang jauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya, aku tidak tahu itu.
“aku mau pulang, aku nggak mau debat lagi sama kamu. Aku cape” ucapku seraya berdiri dan meninggalkan dia sendirian di tempat itu. jujur aku takut, aku takut kehilangan dia. Sikapnya akhir-akhir ini sungguh berbeda, jadi semakin cuek saja.
Sikap Dika benar-benar semakin berubah drastis. Apalagi semenjak dia mengetahui bahwa aku sangat dekat dengan saudara laki-laki ku, Rizky. Juga kalau aku masih sering berkomunikasi dengan Rudi.
“saudara aku cowok semua. Jadi wajar kalau aku deket sama mereka. Kamu percaya sama aku. Aku nggak punya perasaan sama sekali sama mereka” kataku mencoba menjelaskan saat dia menanyakan hal ini. Namun tetap saja dia salah paham dengan semuanya. Aku hanya bisa pasrah.
Aku dan Dika sering ribut akhir-akhir ini. Hubungan kami merenggang, seperti terhalang sesuatu, entah itu apa. Dika yang dulu perhatian, kini semakin cuek kepadaku. Pernah aku menanyakan hal itu kepadanya, hanya saja pasti dia menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan lagi.
“harusnya kamu juga sadar kenapa aku bisa kaya gini. Itu karena kamu juga. Kamu tuh kaya anak kecil. Lama-lama aku bosen sama sikap kamu” ucapnya emosi.
“aku sadar aku egois, aku kaya anak kecil. Itu semua karena aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu. Dan aku ngga mau kehilangan kamu” aku sudah tidak mampu menahan airmata ini. Mataku berkaca-kaca. Sebutir air bening keluar dari sudut mataku. Ya aku menangis. Menangis di depannya. Dia menatap aku yang menangis di depannya. Dia meminta maaf kepadaku, tapi aku hanya diam tak menghiraukan ucapannya. Sepulang dari bertemu dengannya. Aku sama sekali tak menghubunginya, meskipun dia berkali-kali menghubungiku, namun aku tak menghiraukannya.
Aku menceritakan kejadian ini kepada ketiga sahabatku ketika kita bertemu di sekolah.
“aku juga udah nebak dari awal Nis, kamu sama dia pasti bakal sering berantem gini. Bakal sering putus nyambung, dan itu semua karena sikap kamu sendiri” ucap Gita memulai percakapan.
“hush kamu nggak boleh ngomong gitu Git. Dan kamu Nis, kamu harus inget. Perjuangan dan usaha kamu buat ngedapetin dia itu nggak gampang. Kamu nggak boleh nyerah gitu aja. Kamu harus sabar, makanya kamu harus berubah sedikit demi sedikit. Kamu pasti bisa, kan nggak ada yang ngga mungkin kalau kita mau usaha. Buang sikap kamu yang kaya anak kecil itu” ucap Fania mencoba menenangkanku. “betul tuh” timpal Siska. Lega rasanya kalau semua masalah ini sudah aku ceritakan kepada ketiga sahabatku. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Dika, selalu saja aku ceritakan kepada ketiga sahabatku. Meskipun Dika tidak menyukai hal ini, dia tidak suka kalau aku menceritakan tentangnya kepada ketiga sahabatku. karena sifatnya yang cenderung cuek, tertutup dan pendiam itu. “Aku cuma nggak mau kalau entar banyak yang tau kita pacaran” ucap Dika waktu itu.
Hari kamis, aku ada jadwal latihan ekstrakurikuler hari ini. Aku mengikuti eskul Marching Band. Aku sangat menyukai musik, itulah alasanku memilih eskul ini. Kebetulan pula hari ini Dika juga ada jadwal eskul, dia mengikuti eskul silat di sekolah.
“Nisa, kalau kamu udah pulang eskul duluan tungguin aku ya. Kita pulang bareng” ucap Fania sambil berteriak dari kejauhan ketika aku sedang berjalan ingin sholat di masjid sekolah.
Latihan hari ini sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Bermain alat musik. Mempelajari PBB dalam Marching Band. Dan rutinitas selesai latihan adalah sharing bersama para senior. Latihan hari ini selesai, aku berjalan menuju ke depan sekolah. Namun belum sampai di depan sekolah, tiba-tiba hujan besar. Aku pun berlari meneduh di dekat post satpam.
Fan, kamu dimana? Latihannya selesai belum? Aku udah pulang nih, lagi neduh deket post satpam. Cepet kesini ya kalau kamu udah pulang latihannya.
Kurang lebih seperti itulah isi pesan singkat yang aku ke kirim ke Fania. Aku menunggunya, lama sekali. Sambil menunggu Fania, aku melihat hujan. Lamunanku teringat kembali pada masa 2 tahun lalu bersama Rudi. “Hujan punya cerita tentang kita” pikirku dalam hati. Aku terbangun dari lamunanku ketika suara handphone berbunyi. Aku melihat layar itu baik-baik. nama Rizky tertera jelas sana.
“ya Haloo” sapaku dengan keras, tak mau kalah keras dengan suara hujan ini.
“kamu ada dimana? Udah sore kok belum pulang? Ibu kamu nyariin tuh, orang tuh kasih kabar tah apa!” suaranya membuat telingaku bising. Huh Rizky kebiasaan! Dia paling cerewet kalau semuanya yang berhubungan dengan aku.
“ya sorry kalau aku nggak ngabarin, ini baru pulang eskul. Terus pengen pulang ujan, jadi ya udah nunggu reda dulu deh…” jawabku datar.
“apa? Latihan eskul? Heh dibilangin kamu tuh jangan pernah ikut kegiatan apapun di sekolah. Kamu tau sendiri kan kamu tuh nggak boleh kecapean, kamu lupa sama kejadian kemaren?” Rizky terus berbicara tapi aku malah tak mendengarkannya. Aku teringat dengan kata-kata Rizky yang tadi. Waktu liburan kemarin aku masuk rumah sakit, efek kecapean dan banyak beban pikiran. Malamnya aku berantem sama Dika. Dan pagi-pagi entah kenapa aku mimisan banyak sekali, padahal siangnya aku ada janji dengan Gita ingin main ke sekolah. Tapi dengan terpaksa aku nyuruh Rizky buat memberitahu ke Gita kalau acaranya BATAL.
“hey tengil, aku ngomong didengerin nggak sih? Ngapain diem? Pokonya sekarang aku ke sekolah jemput kamu ya!” suaranya membentak.
“mmm, eh abis suara kamu berisik sih. Nggak usah aku masih bisa pulang sendiri kok.”
KLIK!
Aku terpaksa menutup telpon dari Rizky. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan keberadaan Fania di sampingku. Dia hanya tertawa melihat ekspresi wajahku yang kaget.
“apaan sih Fan. Gak lucu tau! Eh pulangnya entar ya. Ujannya belum reda, aku juga mau sekalian nunggu Dika latihan silat. Dika udah selesai kok, bentar lagi pasti kesini. Mau yaa nemenin aku? Pleaseee…” aku memasang tampang melas sambil merengek seperti anak kecil di depan Fania supaya dia mau menemaniku.
“hmm gimana ya? Ya udah deh iya gak papa. Daripada entar kamu bawel ke aku” kata Fania sambil tertawa. Fania memang yang paling mengerti aku. Dia terlihat lebih dewasa dariku, terutama sikapnya. Jadi jika bersama dia, aku seperti anak kecil saja. Ketika hujan sudah mulai reda, dan hanya gerimis yang ada.
“eh itu Dika” Fania menunjuk ke Dika yang sedang berjalan menuju kesini. “Kamu sama dia jalan duluan yaa, aku mau beli minum dulu di depan sekolah” ucap Fania sambil meninggalkan aku. Kalau ada Dika pasti Fania selalu pergi, dia selalu memberi kesempatan untuk aku dan Dika supaya bisa berdua.
“eh Fan jangan gitu sih” aku mengejar Fania ke depan. Aku tidak biasa berdua dengan Dika. Jadi aku memutuskan untuk menunggu Fania.
“ayo katanya mau pulang bareng. Mau pulang bareng nggak?” sapa Dika. Yang kemudian disusul temannya yang berada di belakang Dika. Aku marah, kesel, kecewa pada Dika. Padahal tadi kan kita sudah janji ingin pulang bareng. Tapi kenapa dia malah bersama temannya?
“nggak, duluan aja!” jawabku dengan ketus. Dan Dika pergi begitu saja, seperti tidak punya salah sama sekali.
Aku marah dan sangat marah. Refleks aku membuang handphone ku ke jalan. Aku menangis. Bukan hanya sekali Dika melakukan hal seperti ini kepadaku. Tapi berkali-kali. Dika selalu seenaknya membatalkan janji begitu saja, tanpa alasan! Fania langsung berlari ke arah ku. Dia mengambil handphone ku yang pecah di jalanan, dia juga mengambil Card yang jatuh ke selokan.
“Nisa hey! Gak usah kaya anak kecil, bisa kan? Liat tuh HP ancur gitu. kalau ngelakuin sesuatu tuh mikir dua kali coba. Udah ayo kita pulang. Jangan nangis lagi” ajak Fania. Aku menurut. Aku berjalan di belakangnya. Entah apa yang sudah aku lakukan tadi, aku benar-benar marah dengan Dika. Dika jahat banget! Sepanjang jalan aku hanya menangis.
“Dika jahat Fan. Dia seenaknya gitu sama aku, dia pergi gitu aja tadi. Padahal kan tadi dia udah janji mau pulang bareng, tapi tadi apa coba” kataku membela diri.
“pergi gitu aja? Hey tadi aku liat Dika. Dia tuh nawarin sama kamu, tapi kamunya aja yang nolak!” ucap Fania yang membuatku langsung terdiam. Fania benar, tapi tetap saja Dika yang salah.
“tapi Fan” suaraku terputus. “tetep aja Dika yang salah. Dika nggak pernah peka sama perasaan aku, dia nggak pernah mau ngertiin aku. Apa-apa harus selalu aku yang ngertiin dia. Kenapa dia nggak pernah ngertiin aku?” tangisku semakin menjadi-jadi.
Sesampainya dirumah, aku mengaktifkan nomor dengan menggunakan tablet. Handphone ku rusak saat aku banting tadi. Tiba-tiba saja ada messages masuk. Dari Dika, aku kaget saat membuka pesan darinya.
From Sipit
JAWAB JUJUR! Tadi kamu banting handphone kamu? Apanya yang rusak? Kamu beli handphone itu harga berapa hah?
Aku berfikir, darimana Dika tahu kalau handphone ku rusak. Pasti Fania yang memberitahu kepada Dika.
To Sipit
Iya, aku nggak tau sayang. Udahlah nggak usah dibahas, kan masih ada tablet. Kita masih bisa smsan kok ini. Maaf yaaa
Beberapa menit kemudian Dika membalas pesanku.
From Sipit
Sikap kamu tuh kaya anak kecil. Aku nggak suka kalau kamu kaya gitu. Udah mending kita PUTUS aja. Lama-lama aku bosen sama sikap kamu itu. dan perlu kamu tau ya selama ini aku nggak pernah cinta sama kamu, dan nggak akan pernah cinta. Aku Cuma kasian sama kamu, dan rasa sayang aku ke kamu tuh Cuma karena aku ingin ngebales kebaikan kamu aja. Dan sepertinya sekarang rasa aku ke kamu udah beku, seperti ke Riska dulu. Aku udah nggak ada rasa lagi sama kamu. Aku Cuma nganggep kamu sebagai adik aku, maaf.
RISKA? Kenapa harus ada nama itu? Riska itu sepupu Dika. Mereka pernah dekat, bahkan dekat sekali. Namun semuanya berbeda ketika Riska lebih memilih pacarnya daripada Dika. Sejak saat itu mereka menjadi jauh. Dika membuang jauh-jauh rasanya ke Riska. Padahal Riska selalu memohon agar Dika tidak melakukan hal itu. namun percuma, sikap Dika keras, dia tidak mungkin akan membatalkan keputusnnya.
Dan sekarang Dika akan melakukan hal itu kepadaku? Aku tidak mau, aku begitu mencintai dan menyayanginya. Aku tak ingin Dika melakukan itu. kenapa secepat ini Dika membuang rasa itu, benarkah? Aku menangis, di sudut kamar ini. Tak ada yang tahu. Aku mencoba menulis pesan singkat kepada Dika, dengan sisa tenagaku. Air mataku tak kunjung berhenti.
To Sipit
Dalam hubungan ini biarkan saja hanya aku yang mempunyai rasa cinta dan sayang, kamu cukup merasakannya. Kamu tak perlu membalas rasa itu. aku berharap semoga aku kuat bertahan dengan semua ini. Dan jika suatu saat nanti aku merasa lelah dengan semuanya, maaf aku harus pergi, aku minta maaf sayang. Tapi aku mohon, aku nggak ingin kita putus. Kasih aku kesempatan.
Dika membalasnya lagi.
From Sipit
Sebenernya aku bisa aja ngasih kesempatan lagi ke kamu, tapi percuma. Kamu pasti bakal ngulangin hal itu lagi. Aku minta waktu, aku pengen sendiri dan nggak mau diganggu. Maaf.
Belum selesai masalah antara aku dan Dika, sekarang bertambah lagi masalah besar. Pacar Rizky menelponku, dua hari yang lalu Rizky mempunyai pacar. Dia menceritakan semuanya.
“eh asal lo tau ya. Rizky pacaran sama gue tuh karena kepaksa. Dia pengen manas-manasin lo doang! Dia cerita semuanya tentang lo. Dia nggak mau pacaran dari awal gara-gara lo lah, lo adalah orang yang spesial di hati dia lah. Dan masih banyak lagi. Gue enek kalau harus nyeritain semuanya ke lo. Jadi mending lo tanya sendiri aja sama Rizky nya. Gue bosen denger nama lo yang selalu dia sebut di depan gue” aku terhenyak mendengar perkataan perempuan ini. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Rizky mempunyai perasaan ini kepadaku. Kita ini saudara, kita sangat dekat. Dan rasanya mustahil kalau ada rasa cinta itu. tangisku semakin memuncak, kenapa semuanya serumit ini?
Keesokan paginya aku merasa tidak enak badan, tubuhku tidak fit. Kejadian semalam benar-benar membuatku stres. Aku yang biasanya berangkat sekolah bareng sepupuku, Rizky. Kali ini aku berangkat sendirian, aku masih ingat betul suara perempuan yang semalam menelponku sambil menangis, mulai sekarang aku harus menjaga jarak dengan Rizky, aku tak ingin akan semakin banyak orang yang tersakiti dengan kedekatan kami, termasuk Dika. Ketika memasuki gerbang sekolah, aku melihat Dika. Aku hanya bisa melihatnya, tanpa bisa menyentuhnya sama sekali.
Sudah seminggu lebih Dika dingin kepadaku, sikapnya dingin. Aku berusaha menghubunginya lewat sms tapi tak pernah dibalas, ditelpon tak pernah diangkat, di chat facebook hanya dilihat. Cuma tanda ceklis yang aku lihat disana, itu berarti Dika sudah melihatnya, tapi kenapa dia tidak membalas sama sekali? Setiap kali bertemu di area sekolah, dia hanya diam. Aku mencoba menyapanya dan tersenyum, tapi Dika tidak membalasnya sama sekali. Aku semakin bingung dengan semuanya. Status hubungan antara aku dengan nya pun tidak jelas. Entah masih berpacaran atau sudah kandas begitu saja karena hal konyol yang aku lakukan waktu itu.
Bahkan akhir-akhir ini aku sering melihat dia bersama perempuan lain. Entah ada status apa di antara keduanya. Aku tak pernah ingin bersuudzon, hanya saja bukti itu selalu terlihat nyata di depan mata. Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Aku hanya berharap semoga apa yang aku lihat tidak seperti apa yang aku bayangkan. Seminggu yang lalu dia pun memutuskan untuk mengakhiri “HUBUNGAN” ini.
Dan sampai sekarang hatiku masih tetap untuknya. Terkadang kalau berfikir secara logika. Untuk apa aku berpacaran dengan orang yang bahkan dia pun tidak pernah cinta kepadaku. Tapi begitulah perempuan, segala sesuatunya selalu menggunakan perasaan, tidak peduli seberapa hebatnya logika. Yaa aku tidak bisa membohongi perasaanku kepadanya. Aku begitu mencintai dan menyayanginya. Sampai saat ini…
Ternyata benar.
Cinta tak pernah meminta, Ia senantiasa memberi
Meskipun terkadang apa yang diberikannya tak pernah dihargai
Namun jika sudah cinta
Maka seperti apapun rasa sakit, cemburu dan kecewa
Semua akan hilang ketika mengingat cinta itu
Hanya saja jika cinta selalu disia-siakan
Maka dia akan memilih untuk pergi.
Dan aku sadar sekarang.
Aku terlalu banyak merasakan sakit daripada bahagia
Aku harus pergi…
Semua rasa lelah ini sudah tak sanggup untuk aku rasakan lagi
Biarkan aku sendiri bersama cinta ini
Biarkan hanya aku yang mempunyai rasa cinta ini
Karena Cinta selalu memberi bukan meminta dan tanpa mengharapkan sebuah balasan.
END
 By;Sellawati santoso
Add caption


Pagi yang cerah. Kudengar deburan ombak pantai yang perlahan mulai hilang ditelan bisingnya suara kendaraan. Tirai-tirai yang menutup jendela kamarku mulai kubuka secara perlahan. Dengan mata ini, aku melihat betapa indah birunya mutiara surga di pagi hari. Pancaran sinar keemasan itu mengingatkanku pada suatu hal yang tak asing, kenangan-kenangan yang begitu indah dalam hidupku.
Namaku Viko, aku bersekolah di SMA Harapan Bangsa yang letaknya hanya 1 Km dari rumahku. Dulu bukan aku yang ingin bersekolah di sana, tetapi ibuku. Dengan sifatnya yang keras ia menyuruhku bersekolah di tempat itu, karena banyak teman-temannya yang menyekolahkan anaknya di sana. Termasuk ibuku. Akan tetapi, Tuhan bersikap adil kepadaku. Di sekolah itulah aku berkenalan dengan seorang gadis yang sangat istimewa. Dia bernama Nina.
Dengan wajahnya yang cantik, dia berhasil memikat hatiku. Tubuhnya tinggi semampai dengan rambut yang ikal dan poninya yang lucu. Entah mengapa setiap aku menyapanya, smsan dengannya, hatiku berdegup kencang. Hingga aku memberanikan diri untuk mengajaknya berpacaran.
“Kenapa kamu mau pacaran sama aku?” kataku memulai pembicaraan dengan Nina ketika ia menemaniku bermain basket.
“Karena aku nyaman saja duduk dekat kamu, ngobrol, bercanda, memang kenapa sih kok kamu tiba-tiba ngomong gitu sama aku?”
“Nggak papa, aku cuma ingin tahu saja, memang nggak boleh?”
“Oh, gitu ya. Ya udah deh.”
“Gimana sekolah kamu, nggak ada masalah kan?” tanyaku dengan lembut.
“Nggak ada sih, cuma sebel saja banyak guru yang nggak jera ngasih tugas banyak.”
“Ya maklumlah, kita kan masih anak sekolah.”
“Iya sih.” jawabnya pendek.
Aku sangat bersyukur memilikinya. Hari demi hari kita lewati bersama dengan penuh rasa bahagia. Tidak ada rasa khawatir dan cemas. Dan, tidak pernah sedikit pun terpikir olehku akan kata perpisahan. Ketika aku berpikir tentang perpisahan, aku merasakan ada sesuatu yang membuatku cemas. Perlahan-lahan aku ragu pada keyakinanku sendiri. Akan tetapi sekeras mungkin aku melupakannya.
Kuputuskan untuk pergi ke rumahnya, walaupun hari sudah terbilang larut malam. Demi perasaanku, aku memberanikan diri melewati gang yang sepi. Tepat di depan rumahnya, telah kulihat motor yang terlihat asing bagiku. Sangat asing. Di lamunanku itulah aku dikejutkan dengan seorang pria yang memakai jaket warna hitam, di hadapan Nina.
“Maaf sayang aku pulang dulu, besok kalau ada waktu luang aku mampir ke sini lagi deh. Bye.”
“Hati-hati ya.”
Perkataan itu adalah kata-kata yang sering kami ucapkan ketika berpamitan. Dan sekarang, apa yang kulihat adalah bukti cintanya kepadaku. Bukti yang dia berikan kepada siapapun yang dia sayangi. Bukti yang selalu meluluhkan hati setiap pria yang jatuh hati padanya.
Aku terpaku di hadapan 2 orang yang saling mencintai. Aku termenung melihat senyumnya yang tampak manis mengembang. Aku terkikis ketika melihat pria itu mencium jidatnya. Dia sama sepertiku.
Tanpa sadar air mataku deras berlinang. Aku ingin pergi jauh, menyendiri. Tanpa ada seorang kekasih yang mengajakku untuk kembali. Kekasih yang dulu membuatku bahagia. Walaupun dia seperti itu, aku sangat menyayanginya. Aku merindukan beberapa hari yang kita lalui bersama. Aku tidak kecewa. Aku tidak merasa tersakiti. Karena yang kurasakan ini adalah cinta.

CERITAKU

Nafasmu Sakiti Jiwaku

Mendua bagaikan madu di tangan kanan dan racun di tangan kiri. Berkali aku mencecap rasa itu dari mulut para pria. Tentu sudah berkali-kali aku jatuh bangun dan terpuruk. Sekali aku jatuh aku malah bertahan untuk terus mendapatkannya kembali. Meski aku tahu, dia tidak pernah lagi menggubrisku dan asik dengan wanita lain pilihannya.
Hatiku bisa dibilang sekeras baja, tak mempedulikan apakah aku akan tersakiti kembali atau tidak. Pendirianku cukup tangguh. Banyak yang mengatakan kalau aku ini sangat susah untuk dinasehati. Bahkan ketika aku sudah hancur dan aku kembali terjatuh. Tapi aku tetap mencoba berdiri kembali untuk tujuan yang sama.
Aku bisa saja setia bisa juga aku berkhianat. Banyak lelaki yang ingin memilikiku. Hanya saja aku seringkali tak peduli dengan mereka yang setia menungguku di sana. Aku lebih senang memikirkan mereka yang selalu menyakitiku dengan berjuta alasan. Aku tipe wanita yang suka memecahkan masalah. Aku tidak suka meninggalkan sebuah masalah yang tak ada ujungnya. Terkadang aku sering bingung dengan tingkahku yang tak sewajarnya orang lain. Orang lain akan meninggalkan masalah apabila ia sudah tahu resiko yang akan diterimanya. Serta cenderung akan meninggalkan yang lama. Tapi tidak denganku. Sekali aku disakiti justru aku semakin mendekat dengan masa lalu yang menyakitiku. Seolah memberi pesan bahwa aku wanita tangguh yang pantang menyerah. Terkadang aku selalu merengek untuk diberi kesempatan memperbaikinya sekali lagi. Namun yang ia lakukan adalah semakin memberiku luka. Sekali lagi aku semakin bangkit dengan apa yang diberikan kepadaku. Aku semakin tertantang untuk selalu mendekatinya.
Jangan tanya aku siapa karena aku adalah wanita yang tangguh untuk urusan perasaan dan hati dalam hidupku. Aku senang dengan sebuah ketepatan. Tak suka keraguan dan senang akan petualangan. Prinsipku adalah hidup mandiri tanpa ada orang lain yang mengatur. Aku sudah jengah seumur hidup ditimpa kekerasan oleh orangtuaku sendiri. Aku ingin selalu menjadi yang utama dan selalu yang terbaik tanpa ada orang yang mengatur secara spesifik tentang hidupku. Aku sudah bisa membedakan mana yang baik untukku dan mana yang tidak baik untukku.
Pengalaman cintaku tak seindah jalan cerita ini. Berkali-kali aku dibodohi oleh bebrapa pria yang singgah di hatiku. Aku hanya memikirkan rasa tanpa logika. Cinta yang buta akan kesakitan. Cinta yang tak seteliti detektif. Aku terlalu gegabah untuk mengambil sebuah keputusan bercinta dengan pria. Karena aku tak pernah diperbolehkan mengenal apa itu pacaran semasa SMP dan SMA. Jadilah aku seorang wanita bodoh tentang cinta. Aku dipermainkan bahkan dimanfaatkan. Aku pintar dan cerdas dalam pekerjaan. Prestasiku gemilang di akademik. Tapi aku tak pernah berprestasi di bidang cinta.
Aku kenal dengannya semenjak aku masuk Universitas. Dia lebih muda dariku namun pemikirannya jauh di atasku. Aku seperti orang yang kehilangan akal pada waktu itu. Tak pernah berpikir aku akan disakiti dan aku akan dipermainkan. Dia hanya menggantung cintaku. Dia hanya mempermainkan aku. Dia hanya sekedar mencabik hidupku. Aku boneka baginya. Hingga aku tahu aku hanya pelampiasan sakit hatinya.
Aku tersadar ketika aku menemukan diriku dalam keadaan jatuh terpuruk dan aku telah sadar bahwa dia mengguna-guna diriku untuk permainannya saja. Aku menyesal namun tak ada gunanya juga. Dia sudah keluar dari Universitas dan ke luar Jawa untuk bekerja. Aku hanya bisa bengong mendengarnya dan terselip sebuah dendam untuknya. Aku tak bisa memaafkannya begitu saja. Ketika aku mendengar di jejaring sosial bahwa ada seorang wanita menandai foto mesra bersamanya. Aku mengutuk diriku sendiri bersama dengan dia yang telah berbohong untuk keegoannya.
Semangat yang dulu pernah ia berikan dan selalu ada untukku kini lenyap dalam sekejap jika aku teringat sikapnya terhadapku. Aku tak pernah bisa menangis untuknya. Namun aku menyimpan sejuta dendam kepadanya. Aku tak pernah rela dia dimiliki wanita yang jauh di bawahku. Baik dari segi prestasi maupun kehidupannya.
Aku sempat beralih tambatan hati. Tapi sama saja dengan yang lama. Aku selalu salah di matanya. Aku selalu dianggap tak pernah punya kesan untuknya. Terkadang dia memberiku semangat tapi terkadang dia acuh padaku. Selalu hadir dalam ingatanku jika ia selalu memujiku dan memberikan aku kebenaran jika aku melakukan kesalahan di matanya.
“Kamu harus bisa ngomong depan orang banyak Vi, kalo nggak sekarang kapan lagi?”
“Kamu bagus dan hebat Vi, aku salut sama kamu. Aku juga seneng disukai cewek sebaik kamu. Kamu beda.”
Setiap kata-katanya selalu berkesan di hatiku. Namun sekali lagi aku tak bisa mendapatkan dia. Dia lebih menyukai wanita yang jauh di bawahku dari segi prestasi. Aku hanya mencoba rela melepasnya perlahan karena aku merasa dia mulai menjauh dariku. Namun tetap terbesit di hatiku suatu saat dia akan menjadi suamiku meskipun sekarang aku belum menjadi apa-apanya.
“Vioni, kamu jangan terlalu berharap sama dia. Kamu belum tahu dia kayak apa. Masa kamu suka sih sama dia. Aku nggak suka sama dia Vi,” kata sahabatku suatu hari yang ternyata juga disukai oleh cowok idamanku waktu itu.
“Tapi apa alasannya Fa? Dia itu pinter, punya prinsip. Jelas aku suka sama dia. Jiray tidak seburuk apa katamu, Favea.” kataku tak mau disanggah.
“Terserah kamu Vi, yang jelas aku udah memperingatkan.” katanya sambil berlalu.
Aku tak habis pikir kenapa Favea sahabatku sebegitu tidak sukanya dengan Jiray. Aku sempat berpikir bahwa Favea juga suka dengan Jiray. Lama aku dan Favea tak pernah saling bicara hanya gara-gara masalah Jiray.
Pada akhirnya Favea mengajakku ke Asrama putri dan menyeretku ke kamarnya. Aku hanya diam saja sampai Favea berbicara terlebih dahulu.
“Dengerin aku Vi, sekali ini saja. Aku nggak mau kamu terlalu berharap sama Jiray. Karena apa? Kamu nggak tahu kan kalau Jiray itu sering banget deket sama cewek. Tapi cewek yang satu ini beda Vi, dia Shawn. Orang yang paling kamu benci karena semenjak aku dekat dengan Shawn kau bilang aku berubah menjauhimu dan acuh padamu. Aku baru percaya padamu sekarang setelah Jiray bercerita padaku panjang lebar tentang perasaanya pada Shawn. Itulah alasannya Jiray acuh padamu sekarang dan tak pernah berkesan di hatinya. Aku hanya nggak pengen kamu terlalu berharap dan luka Vi. Karena kamu sahabatku, kamu adikku, kamu perlu aku jaga karena kamu adalah bagian penting di setiap masalah yang aku alami.” jelas Favea panjang lebar.
Aku hanya diam saja mendengarnya. Tetapi aku tak kuasa ketika dia menatapku dengan rasa iba kepadaku. Aku tahu apa maksudnya sekarang. Hening sejenak tapi aku mulai berpikir bahwa pedulinya sahabatku satu ini terhadap perasaanku. Dan aku memeluknya erat sambil berkata, “Maafkan aku Fa, aku salah sangka. Ternyata kamu jauh lebih peduli sama aku.”
Favea hanya terdiam dan menitihkan air mata harunya.
“Sudah sepantasnya aku peduli padamu. Karena kau juga selalu peduli terhadapku. Aku akan selalu menjagamu. Selalu untuk bersama.” katanya.
Kemudian kami keluar dan mencari makan untuk menenangkan diri. Sepanjang perjalanan aku hanya berpikir bahwa Nafas yang diberikan Jiray justru menyakiti Jiwaku. Pengharapan palsu yang selalu dia berikan tanpa penjelasan dan kemudian menghilang tanpa alasan.
Aku mulai menata hidupku kembali. Tanpa Jiray yang sudah menggoreskan pisau harapan semu untukku. THE END